Senin, 02 Januari 2012

Gazaku Lukaku


     Dari Jendela kamarku, kulihat asap hitam membumbung tinggi di atas pusat kota. Orang-orang berlarian di depan rumahku. Kisruh, suara tembakan dan dentuman bom di mana-mana.

    Tiba-tiba segerombolan tentara Yahudi menggedor pintu rumahku dan memaksa keluargaku keluar. Aku tidak mengerti mengapa mereka mengobrak-abrik rumahku, yang aku mengerti ibu begitu panik dan ayah sangat marah. “Ini tanah kami!” teriak ayahku. Tentara-tentara Yahudi itu tidak memberi penjelasan apa-apa. Hanya memberondong timah panas ke arah ayah dan ibu. Kakak perempuanku pun menjadi korban kebiadaban mereka. Di hadapanku, kakakku diperkosa secara bergilir. Bibi Aisyah berusaha menyembunyikan kepalaku agar tak menyaksikan kebiadaban itu.

      Kakakku yang tersungkur lemah tak berdaya, terus-menerus mengucap takbir sambil meneteskan air mata. Aku dan bibi diusir keluar rumah meninggalkan kakakku sendirian. Tak seberapa lama terdengar suara tembakan dari dalam rumah. Aku hanya bisa menangis dalam dekapan bibi Aisyah.

     “Hancurkan..!!” teriak seorang tentara Yahudi yang baru saja keluar dari dalam rumah. Sebuah buldoser raksasa datang dan meluluh-lantakan rumahku.

    “Jangaaaan….!!!” aku meronta berusaha melepaskan diri dari dekapan bibi untuk mencoba menghadang laju buldoser tersebut. Akan tetapi bibi Aisyah  menahanku.

       “Sudahlah Said, cepat kita pergi dari sini,” kata bibi sambil membawaku menjauh dari buldoser.

     Aku semakin tak kuasa menahan tangis. Air bening dari mataku mengalir dengan derasnya. “Mereka membunuh ayah, ibu, dan kakakku!! Kenapa kalian hanya diam? Kenapa?”

      “Kami beri waktu kalian satu jam untuk meninggalkan tempat ini!” teriak komandan mereka.

     “Said!” Bibi Aisyah menatap mataku. “Kita harus pergi atau akan dibunuh oleh tentara-tentara iblis itu!”

       “Lebih baik aku mati daripada hanya diam.” Ucapku yang masih bergelimang air mata.

    “Belum saatnya kau mati. Kau masih terlalu kecil untuk mati sekarang, Palestina masih membutuhkanmu! tumbuhlah menjadi pejuang yang kuat agar kau bisa membela tanah air kita tercinta.” Bibi Aisyah berusaha menenangkanku dan membawaku pergi jauh. Entah mau kemana.

***

       Kini aku mulai mengerti pedih. Sesak rasanya dadaku setiap kali melihat tentara Yahudi laknatullah. Dendamku takkan pernah berakhir sampai mereka enyah dari muka bumi.

       Sejak saat itu aku hanya tinggal berdua saja dengan bibi Aisyah di suatu perkampungan di Jenin. Bibi Aisyah sekuat tenaga mendidikku agar aku bisa menjadi pemuda yang kuat. Aku disekolahkan di sebuah sekolah dasar. Bersama anak-anak palestina lainnya, aku diajarkan banyak hal dari masalah akhlak sampai perkembangan teknologi.

    “Bi, Said berangkat sekolah ya.” Kucium tangan bibi Aisyah kemudian Beliau mencium keningku.

       “Assalamu’alaikum…”

       “Wa’alaikumsalam,” jawab Bibi.

***

       “Teng…teng…teng…” bel tanda usainya sekolah berbunyi.

       “Said!” Umar, teman sekelasku berlari menghampiriku.

     “Ada sesuatu yang ingin aku perlihatkan padamu. Ayo ikut aku!” Umar berlari dan berteriak menyuruhku untuk mengikutinya.

      “Lihatlah koleksiku!” sesampainya di sebuah lorong Umar membuka tasnya.

     Aku terkejut melihat isi tasnya. Selongsong peluru AK 47 dan satu buah rudal bekas bertumpuk di dalam tas.

      “Dari mana kau dapatkan semua ini? Bukankah ini milik tentara-tentara Yahudi biadab itu. “

    “Semua ini kudapatkan di antara puing-puing reruntuhan di utara Jenin. Satu bulan yang lalu sebelum kau datang ke kota kami, sebuah pemukiman penduduk dibombardir habis-habisan oleh tentara Yahudi. Seluruh rumah rata dengan tanah. tiga apache dan lima tank terus menembaki rudal-rudalnya dari segala arah ke pemukiman itu. Peluru dan rudal ini adalah yang tersisa dari kekejaman mereka. Ini semua baru sebagiannya, di rumahku masih banyak lagi yang lainnya. Lagi pula tidak hanya aku yang mengoleksi mainan-mainan ini. Kami anak-anak Jenin terbiasa mengoleksi ini semua. Bahkan kami sering berlomba, siapa pengumpul terbanyak dialah yang menang.” jawabnya dengan jelas dan semangat.

***

    Matahari sudah sepenggalah naik, kupotong sebuah ranting yang besar dan kuat. Aku pahat menjadi sebuah ketapel. “Alhamdulillah.”

   “Bi, coba lihat apa yang aku buat,” aku memperlihatkan ketapel yang baru saja selesai kubuat kepada bibi Aisyah yang sedang menyapu halaman rumah.

   “Dengan ketapel ini, akan kuhancurkan tentara-tentara Yahudi keji itu. Sama seperti ketika burung-burung ababil menghancurkan tentara gajah Abrahah laksana daun-daun yang dimakan ulat.” Bibi langsung memelukku dengan kuat. Kulihat wajah Bibi yang basah dipenuhi air mata yang terus mengalir.

   “Sekarang Said ingin bergabung dengan teman-teman Said yang lainnya ya, Bi. Mau belajar membidik tentara-tentara Yahudi.” Bibi pun tersenyum.

***

    Siang ini langit dipenuhi awan kelabu. Angin berhembus dengan kencangnya. Sepulang dari sekolah, Aku, Umar, dan teman-temanku yang lainnya berencana tuk bermain-main di selatan Jenin. Sesampainya kami di sana, kami melihat sebuah truk yang dipenuhi tentara Yahudi datang menyerang sebuah perkebunan kecil. Satu per satu pegawai perkebunan itu ditembaki tanpa belas kasihan.

   “Cepat pergi dari sini orang-orang bodoh!” teriak salah satu dari tentara Yahudi itu sambil membabati pohon anggur yang ranum.

     Seorang lelaki tua keluar dari rumahnya dan mencoba melawan. tetapi, hanya hantaman popor senapan yang ia dapatkan. Kepalanya berdarah dan akhirnya puluhan peluru menghampiri tubuhnya.
Mereka menjarah barang berharga apa saja yang dapat mereka bawa. Emas, uang, barang-barang elektronik tak ada satu pun yang tersisa. Terdengar jelas oleh kami, teriakan histeris wanita-wanita muda yang tak rela kehormatannya direnggut. Tentara-tentara Yahudi itu semakin menggila dan tertawa kegirangan.

    “Kawan-kawan, Ayo kumpulkan semua batu. Saatnya kita melawan mereka!” teriak Umar dengan lantang. Dan dengan cepat kami mengumpulkan batu-batu kecil yang ada di sekeliling kami.
Di depanku sedang berdiri musuh-musuh Allah. Dan sudah lama aku menunggu sasat-saat seperti ini. Aku tak boleh menyia-nyiakannya. Ya Allah berilah kami  kekuatan. Hancurkanlah mereka dengan batu-batu ini.

    “Intifadhoh!!” Teriakku dengan keras sambil mengangkat ketapel kesayanganku.

    “Allahu Akbar!!” sahut teman-temanku yang lainnya.

    Kami  pun  berrlari  menyerbu  melempari  tentara-tentara  kejam itu dengan batu-batu yang terkumpul. Mereka terkejut menerima serangan dari kami. puluhan batu melesat cepat bagaikan hujan. Beberapa dari mereka tewas mengenaskan tetapi sebagian lainnya berhasil menghindar. Mereka yang bersembunyi membalas dengan menembaki kami. Kedudukan berbalik. Kami menghentikan perlawanan, berusaha menghindar dari tembakan yeng membabi buta.
    
      Aku baru tersadar ternyata Umar sudah tidak ada di antara kami. Aku mencoba melihat sekitarku tetapi tetap tidak menemukannya. Beberapa saat kemudian “Duarr!” truk tentara itu meledak. Lima orang dari kami yang berada cukup dekat dengan truk itu terpental jauh.

   Aku tak tahu siapa yang menyulutkan api ke tangki bensin truk itu. Tetapi ledakan itu berhasil menghabisi seluruh tentara yang bersembunyi di dekatnya. Aku teringat kembali dengan Umar.
    
   “Lihatlah! salah satu teman kalian telah kami tangkap.” teriak seorang tentara yang keluar dari belakang rumah dengan menyeret Umar.

   “Dasar setan kecil! cerdik sekali kau ledakkan truk kami. Rasakan ini!” tubuh Umar yang kecil diinjak-injak oleh tentara yang bengis itu. Umar pun langsung muntah darah. Perutnya tak kuat menahan kerasnya pijakkan kaki.

  “Inilah balasan bagi siapa saja yang melawan kami! Ha..ha..ha..!” Tentara itu mengarahkan senapannya ke kepala Umar. “Dor!” kepala Umar pecah. Darah terus bercucuran dari kepalanya.
   “Umaaaar…!!” teriakku yang dipenuhi amarah.

   Kami kembali bangkit dan melempari tentara yang tersisa itu dengan batu. Sebongkah batu berhasil mengenai kepalanya. Dia berusaha melarikan diri tetapi luka di kepalanya cukup parah. Tak jauh dia berlari, tubuhnya pun roboh ke tanah.

   “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik teman-temanku.

    Kupeluk jenazah Umar. Dan dengan bantuan yang lainnya kami bawa jenazahnya pulang. Air mata terus membasahi pipi kami seiring dengan lantunan tahlil dan takbir yang terus kami ulang.

    Kau telah mendahului kami, Umar. Tetapi kepergianmu ini takkan bisa menyurutkan semangat yang telah kita bangun bersama. Cahaya Allah selalu menyertaimu. Dan perjuangan kita belum berakhir…




Tidak ada komentar:

Posting Komentar